Awal Pertumbuhan Koperasi Indonesia
- 1896
Raden Aria Wiriatmadja, seorang patih
di Purwokerto menjadi pelopor koperasi di Indonesia dengan mendirikan koperasi
simpan pinjam pada kisaran tahun 1896. Dapat dikatakan bapak pelopor koperasi
Indonesia adalah Raden Aria Wiriatmadja.
Kemudian sistem koperasi yang
dikembangkan Raden Aria Wiriatmadja diteruskan oleh De Wolf Van Westerrode,
asisten Resimen Wilayah Purwokerto di Banyumas. Ia belajar ketika sedang
mengunjungi Purwokerto dalam rangka tugasnya. Ketika De Wolf Van Westerrode
kembali ke Jerman dan mempelajari koperasi simpan pinjam untuk tani dan
koperasi simpan pinjam untuk buruh lalu ia mengembangkan sistem koperasi simpan
pinjam Raden Aria Wiriatmadja sehingga waktu itu, sistem koperasi kita mengenal
sistem koperasi simpan pinjam lumbung untuk kaum tani dan koperasi simpan
pinjam untuk kaum buruh.
- 1908 hingga 1911
Pada tahun-tahun jangka 1908 hingga
1911, dua organisasi besar di Indonesia pada waktu itu, Budi Utomo dan Sarekat
Islam menganjurkan berdirinya koperasi yang menyediakan keperluan sehari-hari
masyarakat.
- 1915 hingga akhir tahun 1930
Pemerintahan Hindia Belanda pada
tahun 1915 mengeluarkan Ketetapan Raja no. 431 yang berisikan tentang akta
pembentukan koperasi.
Sekitar tahun 1918, K.H. Hasyim
Asy’ari Tebuireng Jombang mendirikan koperasi bernama ‘Syirkatul Inan’ atau
disingkat SKN yang beranggotakan 45 orang. Inilah koperasi yang pertama kali
mendeklamirkan bahwa koperasi ini berbasis atas ajaran agama Islam.
Pada tahun 1920, Ketetapan Raja no.
431/1915 dinilai memberatkan dalam berdirinya koperasi. Praktis banyak reaksi
bermunculan akibat pernyataan ini sehingga oleh Dr. J.H. Boeke membentuk
‘Komisi Koperasi’ yang tugasnya meneliti kebutuhan masyarakat pada waktu itu
untuk berkoperasi.
Pada tahun 1927, Dr. Soetomo yang
pelopor pendirinya organisasi Budi Utomo mendirikan ‘Indonsische Studieclub’
yang membahas tentang masalah Peraturan Perkoperasian sehingga terciptalah
waktu itu Peraturan Perkoperasian untuk masyarakat pribumi (Bumi Putera).
Kegiatan serupa dilakukan pula oleh
Partai Nasional Indonesia dibawah pimpinan Ir. Soekarno pada tahun 1929 dengan
menyelenggarakan kongres koperasi di Betawi yang isinya untuk meningkatkan
kemakmuran penduduk harus didirikan berbagai macam koperasi di seluruh Pulau
Jawa khususnya dan di Indonesia pada umumnya.
Mendekati akhir tahun 1930 berdirilah
Jawatan Koperasi yang bertugas untuk memberikan penerangan atas koperasi kepada
masyarakat. Dr. J.H. Boeke yang dulu memimpin ‘Komisi Koperasi’ ditunjuk
sebagai Kepala Jawatan Koperasi yang pertama.
- 1933
Pada tahun 1933 diterbitkanlah
Peraturan Perkoperasian yang baru dalam bentuk Gouvernments Besluit no.21 yang
termuat dalam Staatsblad no.108/1933 menggantikan Koninklijke Besluit no.
431/1915. Dengan demikian di Indonesia pada waktu itu berlaku 2 Peraturan
Perkoperasian, yakni Peraturan Perkoperasian yang dikeluarkan pada tahun 1927
untuk golongan masyarakat pribumi dan Peraturan Perkoperasian yang baru untuk
golongan Eropa dan Timur Asing.
- 1935 dan 1938
Pada tahun 1935 dan 1938, Kongres
Muhamadiyah memutuskan untuk mengembangkan koperasi di seluruh wilayah
Indonesia terutama di lingkungan warga Muhamadiyah sendiri. Oleh karenanya,
mulai tumbuh dan berkembangnya bentu koperasi di Indonesia seperti dikenalnya
koperasi batik yang dipelopori oleh warga-warga Muhamadiyah yaitu H. Zarkasi,
H. Samanhudi dan K.H. Idris.
Pada masa kependudukan Jepang,
Koperasi lebih dikenal dengan sebutan ‘Kumiai’. Pemerintahan bala tentara
Jepang pada waktu itu menetapkan Peraturan Pemerintahan Militer Undang-Undang
No.23 yang mengatur tentang pendirian perkumpulan dan penyelenggaran
persidangan. Akibat dari peraturan itu, terjadi kesulitan bagi
koperasi-koperasi baik lama maupun baru untuk bekerja karena jikalau ingin
mendirikan sebuah perkumpulan koperasi atau melanjutkan usaha koperasinya harus
mendapatkan izin dari Residen (Shuchokan) yang menguasai wilayah itu. Tujuannya
adalah mengawasi perkumpulan-perkumpulan koperasi dari segi kepolisian. Peranan
koperasi atau ‘Kumiai’ pada waktu itu bagi masyarakat dan anggotanya sangat
merugikan sebaliknya menguntungkan bagi pemerintahan bala tentara Jepang.
Pertumbuhan Koperasi Setelah Kemerdekaan
- Akhir tahun 1946
Jawatan Koperasi mengadakan pendaftaran
dan tercatat sebanyak 2500 buah koperasi diseluruh Indonesia.
- 12 Juli 1947
Terlaksananya kongres koperasi
se-Jawa yang pertama di Tasikmalaya dan diputuskan antara lain terbentuknya
Sentra Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI) yang menjadikan tanggal
12 Juli diperingati sebagai Hari Koperasi Nasional.
- 1949
Terbitnya Peraturan Perkoperasian
yang dimuat dalam Staatsblad No. 179 yang isinya hampir sama dengan Peraturan
Perkoperasian yang dimuat dalam Staatsblad No.91/1927.
- 1950
Setelah terbentuknya NKRI tahun 1950
program Pemerintah semakin nyata keinginannya dalam mengembangkan
perkoperasian. Hal ini terbukti dalam adanya ‘program koperasi’ pada tiga
kabinet pemerintahan yaitu Kabinet Muhamad Natsir, Kabinet Wilopo, Kabinet Ali
Sastromidjojo.
- 15 – 17 Juli 1953
Terlaksananya kongres koperasi
Indonesia yang ke-2 di Bandung dengan memutuskan untuk merubah Sentral
Organisasi Koperasi Republik Indonesia (SOKRI) menjadi Dewan Koperasi Indonesia
(DKI). DKI berkewajiban untuk membentuk Lembaga Pendidikan Koperasi dan Sekolah
Menengah Koperasi di provinsi-provinsi.
- 1 – 5 September 1956
Terlaksananya kongres koperasi
Indonesia yang ke-3 di Jakarta dengan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan
kehidupan perkoperasian Indonesia dan hubungan Dewan Koperasi Indonesia (DKI)
dengan International Cooperative Alliance (ICA).
- 1958
Terbitnya Undang-Undang tentang
Perkumpulan Koperasi No.79 tahun 1958 yang dimuat dalam Tambahan Lembaran
Negara RI No. 1669 dan disusun pada suasana Undang-Undang Dasar Sementara
(UUDS) 1950 dan mulai berlaku pada tanggal 27 Oktober 1958. Undang-Undang ini
merupakan Undang-Undang pertama tentang perkoperasian yang disusun oleh Bangsa
Indonesia sendiri dalam suasana kemerdekaan.
Perkembangan Koperasi Dalam Sistem
Ekonomi Terpimpin
- 1959
Ditetapkannya kembali Undang-Undang
Dasar 1945 melalui Dekrit Presiden dan pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17
Agustus 1959 yang berjudul ‘Penemuan Kembali Revolusi Kita’ atau yang lebih
dikenal sebagai ‘Manifesto Politik’ (Manipol) dijadikan sebagai Garis-garis
Besar Haluan Negara (GBHN) RI dan pedoman resmi dalam perjuangan menyelesaikan
revolusi berdasarkan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960 membuat Undang-Undang
tentang Perkumpulan Koperasi No.79 tahun 1958 kehilangan dasar dan tidak sesuai
lagi dengan jiwa dan semangat UUD 1945 dan Manipol. Karenanya diciptakanlah
Peraturan Pemerintah No. 60 tahun 1959 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi
yang dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara RI No. 1907 untuk mengatasi hal
tersebut.
- 1960
Pemerintah mengeluarkan Peraturan
Pemerintah No. 140 tentang penyaluran bahan pokok dan penugasan koperasi untuk
melaksanakannya serta peraturan ini dibantu oleh Ketetapan MPRS No.
II/MPRS/1960 yang menetapkan bahwa sektor perekonomian akan diatur dengan dua
sektor yakni sektor Negara dan sektor koperasi, dan Undang-Undang No. 79 tahun
1958 tentang Perkembangan Gerakan Koperasi.
- 1961
Diselenggarakannya Musyawarah
Nasional Koperasi I (Muunaskop I) di Surabaya. Sewan Koperasi Indonesia (DKI)
diganti dengan Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) yang
diatur langsung oleh pemerintah, sebagai Ketua KOKSI pada waktu itu adalah
Menteri Transmigrasi, Koperasi dan Pembangunan Masyarakat Desa
(Mentranskopenda).
- 1965
Dikukuhkan pula Undang-Undang No. 14
tahun 1965 tentang perkoperasian yang dimuat dalam Lembaran Negara No. 75 tahun
1960. Bersamaan dengan dikukuhkannya UU No. 14 tahun 1965, diselenggarakannya
juga Musyawarah Nasional Koperasi II (Munaskop II) di Jakarta yang merupakan
legitimasi masuknya kekuatan-kekuatan politik di dalam koperasi serta keluarnya
Kesatuan Organisasi Koperasi Seluruh Indonesia (KOKSI) dari keanggotaan
International Cooperative Alliance (ICA).
Perkembangan Koperasi Pada Masa Orde
Baru
- 18 Desember 1967
Pemberontakan G30S/PKI merupakan
malapetaka besar bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Titik awal semangat Orde
Baru dimulai pada tanggal 11 Maret 1967, segera setelah itu pada tanggal 18
Desember 1967 dilahirkan Undang-Undang No.12 tahun 1967 yang merupakan
Undang-Undang Koperasi yang baru yang membahas tentang Pokok-pokok
Perkoperasian.
Pemberontakan G30S/PKI membuat
tercemarnya pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 sehingga dalam rangka kembali
pada kemurnian pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai pula dengan
Ketetapan MPRS No. XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan ebijaksanaan Landasan
Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan, maka peninjauan serta perombakan
Undang-Undang No.14 tahun 1965 tentang Perkoperasian adalah suatu keharusan
karena sudah tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat Undang-Undang Dasar 1945.
Peranan Pemerintah dinilai sudah
terlalu jauh dalam mengatur masalah perkoperasian Indonesia pada waktu itu yang
telah tercermin pada hakekatnya tidak bersifat melindungi, bahkan sangat
membatasi gerak serta pelaksanaan strategi dasar perekonomian yang tidak sesuai
dengan tidak sesuai dengan jiwa dan makna Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33.
Oleh karenanya sesuai dengan Ketetapan MPRS NO. XIX/MPRS/1966 dianggap perlu
untu mencabut dan mengganti Undang-Undang No. 14 tahun 1965 tentang
Perkoperasian tersebut dengan Undang-Undang baru yang menempatkan koperasi pada
fungsi yang semestinya sebagai alat dari Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33.
Menurut UU No. 12/1967 pasal 3,
koperasi Indonesia adalah organisasi ekonomi rakyat yang berwatak sosial,
beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi yang merupaan tata azas
kekeluargaan. Dengan berpedoman kepada Ketetapan MPRS no. XXIII/MPRS/1966
Pemerintah memberikan bimbingan kepada koperasi agar operasi benar-benar mampu
melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33 beserta penjelasannya. Dengan
berlakunya UU No.12/1967, koperasi-koperasi yang telah berdiri harus
melaksanakan penyesuaian dengan cara menyelenggarakan Anggaran dan mengesahkan
Anggaran Dasar yang sesuai dengan Undang-Undang tersebut.
Periode Pelita I, pembangunan
perkoperasian menitikberatkan pada investasi pengetahuan dan keterampilan
orang-orang koperasi, baik sebagai orang gerakan koperasi maupun
pejabat-pejabat perkoperasian. Untuk melaksanakan tujuan ini maka Pemerintah
membanguan Pusat Pendidikan Koperasi (PUSDIKOP) di tingkat Pusat dan juga di
tiap ibukota Provinsi. Kini Pusat Pendidikan Koperasi (PUSDIKOP) dirubah
menjadi Pusat Latihan dan Penataran Perkoperasian (PUSLATPENKOP) di tingat
Pusat dan Balai Latihan Perkoperasian (BALATKOP) di tingkat Daerah.
SUMBER:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar